Minggu, 11 April 2010

MENYONGSONG SWASEMBADA DAGING SAPI 2010

MENYONGSONG SWASEMBADA DAGING SAPI 2010
Oleh: Ulrikus R. Lole
Staf Pengajar Ilmu Ekonomi Pertanian pada Fakultas Peternakan Undana



Kebijakan Pemerintah Pusat
Tahun 2007 Deptan RI mencanangkan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) yang ditargetkan pada 2010. Swasembada yang dimaksudkan adalah memenuhi sendiri lebih dari 90% kebutuhan daging sapi dari pasokan dalam negeri, sedangkan impornya yang kurang dari 10% adalah wajar dan alamiah (tak terhindarkan). Sebelumnya, swasembada daging sapi ini sudah dicanangkan pada 2005, tetapi gagal atau tidak ada hasilnya. Ini terbukti dengan peningkatan jumlah impor yang drastis justeru pada tahun 2005, baik berupa ternak sapi bibit/bakalan maupun daging sapi. Sebagai gambaran, perkembangan impor ternak dan daging sapi antara tahun 2004-2008 masing-masing: 214.600 ekor dan 10.671,4 ton (2004), 240.000 ekor dan 11.772 ton (2005), 260.800 ekor dan 21.484,5 ton (2006), 271.900 ekor dan 25.949,2 ton (2007), dan 414.300 ekor dan 41.043 ton (2008). P2SDS tahun 2010 masih menyimpan banyak pertanyaan dan bahkan pesimisme akan pencapaiannya, terkait dengan persiapan teknis dan non teknis terkait. Kondisi di atas diperburuk dengan krisis finansial dan ekonomi dua tahun terakhir.
Dirjen Peternakan memperkirakan Indonesia terus mengalami defisit daging sapi hingga 35% atau 135.1 ribu ton (dipenuhi dengan impor) dari total kebutuhan sekitar 385 ribu ton pada tahun 2008. Defisit daging tersebut setara dengan defisit populasi ternak sapi sekitar 10.7% dari total sekitar 11 juta ekor sapi atau sekitar 1.18 juta ekor sapi. Angka inilah yang memacu 18 daerah sentra produksi sapi potong di Indonesia untuk melipatgandakan populasi ternaknya masing-masing, dengan mengandalkan keefektifan program inseminasi buatan (IB) atau kombinasi IB dengan kawin alam. Lebih khusus lagi, ada 10 sentra produksi yang menjadi sentra utama (NAD 855.000 ekor, Sumbar 466.000 ekor, Lampung 420.000 ekor, Jabar 319.000 ekor, Jateng 1.448.000 ekor, Jatim 2.723.000 ekor, NTB 558.000 ekor, NTT 573.000 ekor (?), Sulsel 696.000 ekor, dan Gorontalo 227.000 ekor), karena total populasinya mencapai 92% dari populasi nasional. Upaya peningkatan populasi harus dilakukan untuk mensubstitusi daging sapi impor dengan daging sapi lokal yang memiliki perbandingan lokal dan impor 65:35. Melihat kecenderungan permintaan domestik dan impor daging sapi yang meningkat pesat serta lambannya peningkatan populasi, maka dalam satu tahun ke depan diperkirakan akan bergeser menjadi 60:40.

Kebijakan Pemerintah Daerah
Pertanyaan penting, bagaimana persiapan pemerintah dan masyarakat peternakan di NTT untuk menyongsong dan ikut mengambil bagian dalam upaya pencapaian swasembada daging sapi tersebut? Secara teknis, ada dua hal utama/penting yang harus dikembangkan untuk menghasilkan daging sapi dalam jumlah besar yaitu peningkatan populasi secara massive dan peningkatan produktivitas ternak itu sendiri. Kedua hal tersebut jelas tercermin pada usaha pembibitan ternak (breeding) dan usaha penggemukan (fattening), baik pada drylot maupun feedlot.
Usaha penggemukan (fattening) di sebagian besar wilayah NTT sudah dianggap ‘lebih maju’ dibandingkan dengan pembibitan tapi belum optimum, karena bobot hidup sebagian besar sapi hasil penggemukan belum mencapai potensi genetiknya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar usaha penggemukan sapi masih didominasi oleh drylot fattening, dimana kualitas dan kecukupan pakan selama penggemukan umumnya belum maksimal. Akibatnya, pertambahan bobot badan harian pada penggemukan sapi tergolong rendah (0.20-0.35 kg/ekor/hari), sehingga membutuhkan waktu penggemukan yang relatif lama (rata-rata 12-24 bulan). Sangat sedikit petani yang melaksanakan feedlot fattening, apalagi feedlot yang dilaksanakan itu tidak murni karena ada kombinasi dengan drylot.
Di sisi lain, usaha pembibitan (breeding) di NTT boleh dikatakan tidak mengalami kemajuan apa pun, karena sebagian besar petani hanya mengambil ternak bibit/bakalan dari alam (sebagai hasil kawin alam murni tanpa campur tangan manusia) untuk digemukkan. Dalam kondisi ini, petani seolah melakukan napak tilas ke masa pastoral life. Untuk diketahui, perlu dibedakan dengan kawin alam tidak murni yang sengaja diatur oleh manusia, tapi cara ini masih sedikit sekali yang melaksanakannya walaupun dianjurkan.
Menganalisis pembibitan sapi potong di wilayah ini seolah kehabisan bahan tentang keberhasilan. Langkah strategis pengembangan program IB sebagai penopang ekspansi populasi sapi dalam wilayah ini boleh dianggap gagal total, dengan menjadikan faktor sosial budaya sebagai biang kerok (modus operandi-nya). Padahal, sapi timor yang dikirim ke beberapa wilayah di Sulawesi (dan daerah lainnya) berhasil dilipatgandakan jumlahnya melalui aplikasi IB, walaupun rata-rata angka keberhasilan kebuntingan 50-60%. Dan tentunya dalam pelaksanaannya menghadapi persoalan sosial budaya yang spesifik pula dalam wilayahnya. Jika memang faktor sosial budaya merupakan kendala utama, maka dalam pelaksanaan program IB perlu diberikan perhatian serius kepada aspek-aspek tersebut dan tidak terfokus pada teknologi IB dan ternak itu sendiri. Faktor sosial budaya inilah yang merupakan domain strategis yang kurang mendapat perhatian perencana dan pelaksana pembibitan sapi.
Peternakan sapi potong suatu wilayah akan kuat dan maju, jika usaha pembibitannya berkembang dengan baik. Jadi, pembibitan sapi merupakan tulang punggung atau jantung dari pembangunan peternakan sapi itu sendiri. Dengan demikian, jika usaha pembibitan sapi tidak berkembang baik, maka sebenarnya pembangunan peternakan itu diletakkan di atas dasar yang rapuh, padahal di dalamnya tercakup sejumlah besar petani yang menggantungkan nasib ekonomi dan kesejahteraannya. Melalui kondisi perbibitan sapi potong NTT demikian itulah dan berdasarkan koefisien teknisnya, data utama dinamika populasi sapi ‘dilahirkan’ (di samping sumber data lainnya), dan dipakai dalam perencanaan dan evaluasi terkait. Sebagai gambaran dapat dilihat data proyeksi populasi sapi potong NTT antara tahun 2004-2008 masing-masing: 522.929 ekor (2004), 533.710 ekor (2005), 544.482 ekor (2006), 555.383 ekor (2007), dan 577.962 ekor (2008). Terjadi peningkatan populasi sapi yang hampir sama sekitar 11.000 ekor per tahun. Namun dari 2007 ke 2008 populasi meningkat sekitar 22.000 ekor (mungkin ada program khusus?), tapi justeru jumlah pengeluaran sapi pada 2008 (57.000 ekor) menurun daripada 2006 (61.279 ekor) dan 2007 (63.036 ekor).
Jadi, untuk menyongsong Swasembada Daging Sapi 2010, semua pihak diharapkan mampu meningkatkan populasi dan produktivitas ternak melalui pembibitan dan penggemukan. Upaya awal Gubernur dan Wakil Gubernur NTT melalui pendistribusian dan perguliran sapi pada beberapa wilayah patut didukung dan diharapkan terus ditingkatkan, sehingga memiliki dampak yang signifikan.

Kendala Teknis dan Sosial
Walaupun NTT termasuk daerah prioritas kawin alam, namun melalui bantuan pemerintah daerah, IB harus tetap diaplikasikan. Tentunya dengan memperhatikan keseimbangan antara keberhasilan aspek teknis (ternak dan paket teknologi IB) dan aspek sosial budaya (petani dan lingkungannya). Menggunakan pendekatan kemasyarakatan yang tersesuaikan atau termodifikasi akan meningkatkan keberhasilan adopsi inovasi teknologi IB dan supporting aspects-nya. Petugas lapangan yang tinggal di desa akan meningkatkan interaksi dan transformasi inovasi. Keakuratan dan keterandalan data populasi dan dinamikanya merupakan syarat mutlak dalam rangka perencanaan dan evaluasi pembangunan peternakan sapi potong dalam wilayah ini. Tinggal pilih: menyongsong dan ikut berlari atau tertinggal.

MENYONGSONG SWASEMBADA DAGING SAPI 2010

MENYONGSONG SWASEMBADA DAGING SAPI 2010
Oleh: Ulrikus R. Lole
Staf Pengajar Ilmu Ekonomi Pertanian pada Fakultas Peternakan Undana



Kebijakan Pemerintah Pusat
Tahun 2007 Deptan RI mencanangkan Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (P2SDS) yang ditargetkan pada 2010. Swasembada yang dimaksudkan adalah memenuhi sendiri lebih dari 90% kebutuhan daging sapi dari pasokan dalam negeri, sedangkan impornya yang kurang dari 10% adalah wajar dan alamiah (tak terhindarkan). Sebelumnya, swasembada daging sapi ini sudah dicanangkan pada 2005, tetapi gagal atau tidak ada hasilnya. Ini terbukti dengan peningkatan jumlah impor yang drastis justeru pada tahun 2005, baik berupa ternak sapi bibit/bakalan maupun daging sapi. Sebagai gambaran, perkembangan impor ternak dan daging sapi antara tahun 2004-2008 masing-masing: 214.600 ekor dan 10.671,4 ton (2004), 240.000 ekor dan 11.772 ton (2005), 260.800 ekor dan 21.484,5 ton (2006), 271.900 ekor dan 25.949,2 ton (2007), dan 414.300 ekor dan 41.043 ton (2008). P2SDS tahun 2010 masih menyimpan banyak pertanyaan dan bahkan pesimisme akan pencapaiannya, terkait dengan persiapan teknis dan non teknis terkait. Kondisi di atas diperburuk dengan krisis finansial dan ekonomi dua tahun terakhir.
Dirjen Peternakan memperkirakan Indonesia terus mengalami defisit daging sapi hingga 35% atau 135.1 ribu ton (dipenuhi dengan impor) dari total kebutuhan sekitar 385 ribu ton pada tahun 2008. Defisit daging tersebut setara dengan defisit populasi ternak sapi sekitar 10.7% dari total sekitar 11 juta ekor sapi atau sekitar 1.18 juta ekor sapi. Angka inilah yang memacu 18 daerah sentra produksi sapi potong di Indonesia untuk melipatgandakan populasi ternaknya masing-masing, dengan mengandalkan keefektifan program inseminasi buatan (IB) atau kombinasi IB dengan kawin alam. Lebih khusus lagi, ada 10 sentra produksi yang menjadi sentra utama (NAD 855.000 ekor, Sumbar 466.000 ekor, Lampung 420.000 ekor, Jabar 319.000 ekor, Jateng 1.448.000 ekor, Jatim 2.723.000 ekor, NTB 558.000 ekor, NTT 573.000 ekor (?), Sulsel 696.000 ekor, dan Gorontalo 227.000 ekor), karena total populasinya mencapai 92% dari populasi nasional. Upaya peningkatan populasi harus dilakukan untuk mensubstitusi daging sapi impor dengan daging sapi lokal yang memiliki perbandingan lokal dan impor 65:35. Melihat kecenderungan permintaan domestik dan impor daging sapi yang meningkat pesat serta lambannya peningkatan populasi, maka dalam satu tahun ke depan diperkirakan akan bergeser menjadi 60:40.

Kebijakan Pemerintah Daerah
Pertanyaan penting, bagaimana persiapan pemerintah dan masyarakat peternakan di NTT untuk menyongsong dan ikut mengambil bagian dalam upaya pencapaian swasembada daging sapi tersebut? Secara teknis, ada dua hal utama/penting yang harus dikembangkan untuk menghasilkan daging sapi dalam jumlah besar yaitu peningkatan populasi secara massive dan peningkatan produktivitas ternak itu sendiri. Kedua hal tersebut jelas tercermin pada usaha pembibitan ternak (breeding) dan usaha penggemukan (fattening), baik pada drylot maupun feedlot.
Usaha penggemukan (fattening) di sebagian besar wilayah NTT sudah dianggap ‘lebih maju’ dibandingkan dengan pembibitan tapi belum optimum, karena bobot hidup sebagian besar sapi hasil penggemukan belum mencapai potensi genetiknya. Hal ini disebabkan karena sebagian besar usaha penggemukan sapi masih didominasi oleh drylot fattening, dimana kualitas dan kecukupan pakan selama penggemukan umumnya belum maksimal. Akibatnya, pertambahan bobot badan harian pada penggemukan sapi tergolong rendah (0.20-0.35 kg/ekor/hari), sehingga membutuhkan waktu penggemukan yang relatif lama (rata-rata 12-24 bulan). Sangat sedikit petani yang melaksanakan feedlot fattening, apalagi feedlot yang dilaksanakan itu tidak murni karena ada kombinasi dengan drylot.
Di sisi lain, usaha pembibitan (breeding) di NTT boleh dikatakan tidak mengalami kemajuan apa pun, karena sebagian besar petani hanya mengambil ternak bibit/bakalan dari alam (sebagai hasil kawin alam murni tanpa campur tangan manusia) untuk digemukkan. Dalam kondisi ini, petani seolah melakukan napak tilas ke masa pastoral life. Untuk diketahui, perlu dibedakan dengan kawin alam tidak murni yang sengaja diatur oleh manusia, tapi cara ini masih sedikit sekali yang melaksanakannya walaupun dianjurkan.
Menganalisis pembibitan sapi potong di wilayah ini seolah kehabisan bahan tentang keberhasilan. Langkah strategis pengembangan program IB sebagai penopang ekspansi populasi sapi dalam wilayah ini boleh dianggap gagal total, dengan menjadikan faktor sosial budaya sebagai biang kerok (modus operandi-nya). Padahal, sapi timor yang dikirim ke beberapa wilayah di Sulawesi (dan daerah lainnya) berhasil dilipatgandakan jumlahnya melalui aplikasi IB, walaupun rata-rata angka keberhasilan kebuntingan 50-60%. Dan tentunya dalam pelaksanaannya menghadapi persoalan sosial budaya yang spesifik pula dalam wilayahnya. Jika memang faktor sosial budaya merupakan kendala utama, maka dalam pelaksanaan program IB perlu diberikan perhatian serius kepada aspek-aspek tersebut dan tidak terfokus pada teknologi IB dan ternak itu sendiri. Faktor sosial budaya inilah yang merupakan domain strategis yang kurang mendapat perhatian perencana dan pelaksana pembibitan sapi.
Peternakan sapi potong suatu wilayah akan kuat dan maju, jika usaha pembibitannya berkembang dengan baik. Jadi, pembibitan sapi merupakan tulang punggung atau jantung dari pembangunan peternakan sapi itu sendiri. Dengan demikian, jika usaha pembibitan sapi tidak berkembang baik, maka sebenarnya pembangunan peternakan itu diletakkan di atas dasar yang rapuh, padahal di dalamnya tercakup sejumlah besar petani yang menggantungkan nasib ekonomi dan kesejahteraannya. Melalui kondisi perbibitan sapi potong NTT demikian itulah dan berdasarkan koefisien teknisnya, data utama dinamika populasi sapi ‘dilahirkan’ (di samping sumber data lainnya), dan dipakai dalam perencanaan dan evaluasi terkait. Sebagai gambaran dapat dilihat data proyeksi populasi sapi potong NTT antara tahun 2004-2008 masing-masing: 522.929 ekor (2004), 533.710 ekor (2005), 544.482 ekor (2006), 555.383 ekor (2007), dan 577.962 ekor (2008). Terjadi peningkatan populasi sapi yang hampir sama sekitar 11.000 ekor per tahun. Namun dari 2007 ke 2008 populasi meningkat sekitar 22.000 ekor (mungkin ada program khusus?), tapi justeru jumlah pengeluaran sapi pada 2008 (57.000 ekor) menurun daripada 2006 (61.279 ekor) dan 2007 (63.036 ekor).
Jadi, untuk menyongsong Swasembada Daging Sapi 2010, semua pihak diharapkan mampu meningkatkan populasi dan produktivitas ternak melalui pembibitan dan penggemukan. Upaya awal Gubernur dan Wakil Gubernur NTT melalui pendistribusian dan perguliran sapi pada beberapa wilayah patut didukung dan diharapkan terus ditingkatkan, sehingga memiliki dampak yang signifikan.

Kendala Teknis dan Sosial
Walaupun NTT termasuk daerah prioritas kawin alam, namun melalui bantuan pemerintah daerah, IB harus tetap diaplikasikan. Tentunya dengan memperhatikan keseimbangan antara keberhasilan aspek teknis (ternak dan paket teknologi IB) dan aspek sosial budaya (petani dan lingkungannya). Menggunakan pendekatan kemasyarakatan yang tersesuaikan atau termodifikasi akan meningkatkan keberhasilan adopsi inovasi teknologi IB dan supporting aspects-nya. Petugas lapangan yang tinggal di desa akan meningkatkan interaksi dan transformasi inovasi. Keakuratan dan keterandalan data populasi dan dinamikanya merupakan syarat mutlak dalam rangka perencanaan dan evaluasi pembangunan peternakan sapi potong dalam wilayah ini. Tinggal pilih: menyongsong dan ikut berlari atau tertinggal.